Jumat, 27 Agustus 2010

Hi. ARIA SUKMA MALAH, ST



Pendidik yang Intelek

Pertama-tama kami mengenalnya sebagai guru. Karena itu kami memanggil beliau “Pak Guru”. Sudah tak terhitung lagi “manusia”—terutama—Bolaang Mongondow yang telah dia “orangkan”. Namun setelah berinteraksi dan mengenal sedikit figur serta pemikirannya, saya memandang beliau sebagai pendidik walau saya tetap memanggil beliau “Pak Guru”.
Pendidik, dalam terminologi Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara tak sama dengan pengajar yang senantiasa menanamkan doktirin tanpa memahamkan. Pendidik adalah seorang yang memahamkan. Namun Pak Guru kita ini bukan sekadar memahamkan tetapi juga memikirkan bagaimana pengembangan pendidikan sehingga benar-benar terasa manfaatnya bagi semua. Dalam taraf ini beliau bisa dikatakan sebagai intelektual. Dan ternyata keintelektualan beliau tak hanya dalam lingkup pendidikan, tapi berbagai bidang ikut juga dia pikirkan walau beliau tetap bersikukuh bahwa pendidikan merupakan pondasi segalanya.
Diskusi dengan Wakil Kepala Sekolah di salah satu sekolah di Swiss
“Sebaik apa pun kita memformulasi pembangunan disegala bidang namun jika pendidikan kita abaikan maka yang ada dua hal yang terjadi. Pertama, formula itu tak mungkin bisa dijalankan. Kedua, kita harus mempergunakan tenaga luar agar formula tersebut bisa jalan. Dan bagi saya keduanya sama-sama merugikan kita. Karena itu tak ada jalan lain selain pendidikan harus diperhatikan. ” tegasnya.
Untuk pengembangan pendidikan, dia sangat gencar mencari terobosan ketika dia diminta menahkodai SMK Cokroaminoto Kotamobagu. Pembangunan jaringan pun dia usahakan yang mempersedikit waktunya berhubungan dengan siswa, bahkan dengan keluarga.
Usahanya membawa hasil. Saat ini, SMK Cokroaminoto Kotamobagu, sebuah sekolah yang khusus mempelajari teknik, telah bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lainnya. Bahkan sekolah yang sudah berproses menuju Sekolah Berstandar Internasional (SBI) ini telah bekerjasama dengan luar negeri seperti Swis, Australia dan baru-baru ini kepala sekolahnya baru berkunjung ke Jerman dalam rangka memfolow up kerjasama dengan salah satu institusi di sana.
Di Negara Bankir, Swiss
Melihat berbagai langkah yang beliau ambil dan kemajuan yang ada di SMK Cokroaminoto Kotamobagu, banyak yang berpandangan agar Ketua Syarikat Islam (SI) Kotamobagu ini masuk ke ruang pemerintahan. Karena itu, atas desakan masyarakat, dia mengajukan diri untuk mendampingi salah satu kandidat Walikota dalam Pilwako Kotamobagu lalu. Dalam uji kelayakan yang diadakan partai pendukung, Hi Arya Sukma Mala mengajukan program pembangunan pendidikan yang komprehensif yang mendapat apresiasi dari banyak pihak. Sayangnya bukan dia yang terpilih untuk mendampingi kandidat tersebut untuk bertarung di Pilwako.
Apakah peristiwa tersebut membuat Papa Ipan, demikian beliau biasa dipanggil, menjadi alergi dengan pemerintahan yang memang sangat kental nuansa politiknya?
“Sebenarnya tidak. Sebagai warga yang cinta dengan daerah, tentu saja saya siap jika diminta untuk bekerja sesuai profesi dan kemampuan saya. Bagi saya ini merupakan panggilan tugas. Tapi saya berharap bisa tetap profesional karena profesionalitas merupakan satu dari sekian banyak kunci untuk menuju kemajuan. Kalau tak profesional justru akan merepotkan semua,” ujarnya penuh arti.
Di Jembatan Luzern, Swiss
Saat perbincangan, kami sempat menyinggung lawatannya ke luar daerah dan luar negeri. Menurutnya, cukup banyak pelajaran yang bisa diambil dari lawatan tersebut, mulai dari pengelolaan birokrasi sampai petani. Kesemuanya itu merupakan contoh yang dapat diterapkan dalam membangun Bolaang Mongondow Bersatu. Namun sekali lagi dia mengingatkan bahwa pendidikan yang lebih utama.
“Iqra wahyu pertama yang diterima Rasulullah, yang berarti kita diperintahkan untuk membaca, menyelidiki, meneliti apa yang dapat memaslahatkan kita. Karena itu, pendidikan harus kita utamakan,” tukasnya ketika menutup perbincangan. (Anuar Syukur)

Kamis, 26 Agustus 2010

SPMA PANCA MARGA



Sekolah Pertanian yang Butuh Uluran Tangan
Bentuk bangunan SPMA Panca Marga Bolaaang Mongondow

Umurnya sudah cukup tua, sejak tahun 1980-an berdirinya namun dari pisiknya hanya begitu-begitu saja. Itulah Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Panca Marga, sebuah sekolah yang mengkhususkan diri untuk mempelajari pertanian. Posisi sekolah ini memang agak susah. Selain karena dikelola oleh Yayasan Panca Marga yang tergolong sebagai yayasan veteran yang hanya terdorong oleh semangat pengabdian sehingga memang agak susah dari segi permodalan, sekolah ini juga dibawah naungan Dinas Pertanian yang tak memplotkan anggaran untuk pengembangan sekolah ini. Agak memiriskan. Di saat pemerintah sedang punya niat baik terhadap dunia pendidikan, berbagai bantuan untuk sekolah-sekolah meluncur seperti hujan, SPMA Panca Marga hanya dapat menjadi penonton walau dia sekolah juga.
Namun SPMA Panca Marga tak pernah memutuskan berhenti. Walau anggaran terbatas dan siswa terkadang sangat sedikit karena sedikit sekali promosi sehingga banyak masyarakat yang belum tahu keberadaan sekolah yang bersampingan dengan kantor BIPP Mongkonai ini, namun SPMA Panca Marga tetap berjalan.
“Walau tertatih namun kita berusaha agar tetap eksis,” kata sekretaris Yayasan Panca Marga, Wiryono Manoppo AMTS.
Hebatnya, sekolah ini pernah berada ditangan para petinggi di Dinas Pertanian. Kadis Perikanan, Ir Djakia Mokodongan, pernah menjadi Kepala Sekolah pada tahun 1980-an sampai awal 1994. Kemudian mantan Kadis Pertanian, almarhum Ir Agus Suprianto. Thandi M. Palakum yang pernah menjadi Kacab Diknas di Bolmut juga pernah mengepalai. Dan banyak lagi tokoh birokrat lain. Namun keberadaan mereka seolah tak berdampak pada sekolah.
“Saat ini kita benar-benar hanya berharap dari siswa. Operasional hanya dari SPP yang enam puluh ribu perbulannya persiswa,” ujar Wiryono lagi.
Wiryono Manoppo, AMTS
Karena tergantung pada sisiwa maka pihak Yayasan dan sekolah berusaha meningkatkan kuantitas siswa.
“Dengan keterbatasan yang ada, kita berusaha menyadarkan masyarakat di desa-desa bahwa belajar pertanian sangat penting untuk daerah kita ke depan. Dan Alhamdulillah banyak juga orang tua maupun anaknya yang sepemikiran dengan kami sehingga setiap tahun jumlah siswa terus bertambah,” lanjutnya.
Karena siswa terus bertambah, saat ini SPMA Panca Marga berusaha menambah gedung baru. Namun pada tabloid naton, Wiryono mengatakan bahwa kesiapan untuk pembangunan gedung belum penuh.
“Kami berusaha sesuai kemampuan kami, sisanya kami serahkan pada Tuhan, semoga Dia mengetuk hati yang lainnya,” tutup Wiryono (Anuar Syukur)

Rabu, 25 Agustus 2010

Kotamobagu Butuh Wisata Kuliner


Debi Kadengkang: Kotamobagu Butuh Wisata Kuliner

Kasubdin Pariwisata Kota Kotamobagu, Debi Kadengkang BSc
Ketika Kotamobagu hendak dimandirikan menjadi sebuah Kota, banyak yang pesimis mengingat keberadaan Kotamobagu yang dipelosok akan membuat daerah ini menjadi kota mati ketika dimandirikan. Kepesimisan ini sangat wajar mengingat perputaran ekonomi kebanyakan berada diwilayah yang menjadi sentral perhubungan. Namun pandangan ini ditolak oleh Kasubdin Pariwisata, Debi Kadengkang BSc.
“Kita tak usah bicara teori tapi melihat kenyataan saja dan mencontohnya. Misalnya Malang, Kota yang juga dipelosok dan hawanya persis sama dengan Kotamobagu tapi terbukti Malang adalah kota kedua terbesar di Jawa Timur. Karena itu, kita layak mencontohnya dan benar-benar mengaplikasikannya di Kotamobagu,” kata ibu yang pernah tinggal di Malang dan sampai saat ini masih memantau Malang melalui keluarganya yang berdiam di kota bunga itu.
Terkait tugasnya, mantan Lurah Sinindian ini mengatakan akan mengkonsep program sesuai komoditi pariwisata yang ada di Kotamobagu.
“Kita punya potensi yang cukup banyak. Untuk wisata alam sebenarnya kita punya air terjun di Kobo dan Mongkonai, air panas di Motoboi Kecil dan Gogagoman, dan lainnya. Kita juga sedang memikirkan pembangunan sarana penginapan yang layak yang kalau bisa kita suda punya hotel berbintang. Juga sarana hiburan akan kita lihat potensinya,” ujarnya.
Namun wanita yang selalu bicara blak-blakan ini mengakui bahwa mengembangkan semua itu tidak gampang. Selain mahal karena harus membebaskan lahan dan membiaya pembangunan yang cukup mahal, juga harus dikonsep dengan matang sehingga bisa saling menunjang dengan program instansi lain. Karena itu, menurutnya, kita melangkah pelan-pelan saja berdasarkan anggaran yang kita punya. Tapi dia berharap ada program yang berjalan. Dan dia melihat potensi yang lain, yaitu wisata kuliner yang bisa kita jadikan langkah awal.
“Wisata kuliner itu murah karena kita punya banyak kantin yang menjual aneka macam masakan, juga banyak yang punya gerobak dorong. Kemungkinan bekerjasama dengan pihak yang mensponsori juga terbuka. Kita tinggal menyediakan tempat serta mengatur jadwal kapan tempat wisatan kuliner ini dilakukan. Misalnya sehari perminggu, dihari Sabtu sampai malam atau sampai hari minggunya,” tukasnya.
Ibu Debi berharap melalui tabloid naton, program ini bisa di dukung.
“Banyak yang meremehkan program ini karena dipandang program yang terlampau sederhana tapi menurut saya sangat mengena. Selain kita bisa menambah PAD dari retribusi, program ini akan memberdayakan masyarakat serta bisa mempromosikan daerah kita sebagai salah satu dari daerah tujuan wisata kuliner di Indonesia,” harapnya. (Anuar Syukur)

Pemandangan dari TPA “Kobidu”


TPA Kobidu


Kobidu adalah kompleks persawahan dan perkebunan yang masih termasuk dalam wilayah desa Poyowa Kecil, Kotamobagu Selatan. Tempatnya tak jauh dari jalan Amurang-Kotamobagu-Doloduo (AKD). Awalnya hanya hijau-kuningnya padi serta pohon kelapa yang ditemukan di sini. Sekitar sepuluh tahun lalu, sampah mulai menghiasi tempat ini.
Tahun 2006 lalu, keber sampah belum terlalu kelihatan, papan penunjuk keberadaan tempat ini sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) belum ada karena waktu itu masih dikaji apakah Kobidu memang akan dijadikan TPA atau dingarai dekat desa Lobong, Bolaang Mongondow. Setelah hasil kajian menyimpulkan ngarai tak mungkin jadi TPA mengingat adanya sungai yang akan tercemar, akhirnya Kobidu resmi jadi TPA.
Pembuangan Sampah Sudah Meluber ke Jalan
Keberadaan Kobidu sebagai TPA memang tak langsung terlihat mengingat pengangkutan sampah rumah tangga (sampah domestik) belum di intensifkan saat itu. Ketika Kotamobagu mandiri menjadi Kota barulah pemanfaatan terlihat dan cukup intensif ketika Djelantik Mokodompit terpilih menjadi Walikota.
“Saat ini, kita memang rutin mengangkut sampah rumah tangga yang untuk dibuang di TPA setelah sebelumnya kebanyakan hanya sampah-sampah kegiatan. Untuk wilayah Kotamobagu Selatan, pengangkutannya dilakukan setiap minggu,” kata Anto Lomban, pegawai Dinas Kebersihan yang mengkoordinator pengangkutan sampah di Kotamobagu Selatan.
Masyarakat Bolaang Mongondow, termasuk Kota Kotamobagu sesungguhnya belum begitu mengenal sampahnya dibuangkan oleh pihak lain. Karena ada saja kisah ketika sampah rumah di kampung-kampung mulai diangkut.
“Petugas dilapangan sering mengeluh karena mereka terluka akibat sampah dari pecahan botol atau duri pohon salak yang ditebang. Ada juga warga yang membersihkan sampah dari lubang sampah yang telah dia buat. Karena itu kami sering sosialisasi ke masyarakat tentang pengangkutan sampah ini,” kata Anto.
Dari pantauan tabloid naton, tak hanya warga yang bermasalah melainkan manajemen pengelolaan sampah di TPA juga belum tertata. Ketika pewarta tabloid naton berkunjung ke TPA, sampah sudah mulai menggunung dan diletakan tidak teratur. Bahkan jalan ke TPA sudah dikotori sampah sehingga mengganggu pengguna jalan.
Om Yance didepan tempat tinggalnya di TPA Kobidu
Menurut Yance Laluyan, pria paru baya yang sudah sepuluh tahun menjadi penjaga TPA, ketersediaan alat menjadi kendala dalam pengelolaan sampah di TPA.
“Menurut prosedur, sampah basah yang bisa terurai ditanah diratakan kemudian ditimbun sedikit. Setelah itu diatasnya diletakan sampah baru. Namun kita belum punya alat untuk menggali tanah,” kata Opa Yance, demikian dia biasa disapa.
Soal sampah kering seperti plastic, botol, besi dan lainnya, dari pantauan tabloid naton sudah yang memulung. (Anuar Syukur)

Minggu, 22 Agustus 2010

Perjalanan Ke Tempat “Kinodungkulan”



Laporan Perjalan ke Bolsel
Salah satu desa nelayan di Bolsel

Sebelum Bolaang Mongondow memasuki masa Punu’, Bogani yang berdiam di Polian (sekarang wilayah perkebunan Motoboi Kecil) memerintahkan anaknya untuk berburu. Sang anak pun menyeberangi sungai, menelusuri pegunungan Sikala dan mendaki gunung dan akhirnya tembus ke pegunungan sebelah. Alangkah aneh hari itu, buruan tak ada yang nampak. Saat berada di daerah yang sekarang dikenal sebagai Dumagin, dia menemukan batu yang aneh dan dia memerintahkan agar batu itu dibawa. Mereka melanjutkan berburu namun bahkan saat tiba dipantai, dia tak bertemu hewan. Di salah satu tempat datar, batu itu dipecahkan karena sangat berat untuk dibawa-bawa, daerah ini sekarang disebut Pinolosian. Mereka pun kembali dengan hanya membawa batu itu. Setelah Bogani Polian melihat batu yang dibawa, diketahuilah bahwa batu itu mengandung emas. Para Bogani diinformasikan tentang keberadaan batu ini dan sejak saat itu dilakukanlah perburuan batu emas. Tak lama kemudian muncullah pertambangan di Tobongon, kemudian Lanut yang sekarang dikelola oleh Avocet Bolaang Mongondow.
Bakal Kantor Bupati Bolsel di Panango
Tempat ditemukannya batu emas itu untuk beberapa lama menghilang. Sekarang, Avocet Bolaang Mongondow ingin mengelolanya.
Kisah ini cukup menyemangati saya ketika diperintahkan ke sana walau tetap berpuasa. Sebenarnya jalan yang dilalui anaknya Bogani Polian ini sudah terbuka dengan dibuatnya jalan dari bakan melalui Tonsile yang akhirnya sampai di Bolaang Mongondow Selatan. Namun yang kudengar, jalan ini sangat susah karena selain menanjak yang membuat motor bututku akan menyerah, juga jalannya belum begitu bagus. Akhirnya, setelah dipikir-pikir, kulalui saja jalan biasa yaitu Dumoga-Molibagu-Pinolosian.
Setelah melewati kampung cokelat, Matayangan, Bolsel menyambut kami dengan gunung di kiri-kanan. Dari gunung muncul mata air besar. Menurut cerita nenek, di masa lalu di mana mereka hanya bisa jalan kaki, kalau mereka ke Molibagu atau ke Pinolosian, mereka akan istirahat digunung yang membatasi Bolaang Mongondow dan Bolaang Mongondow Selatan ini, tak jauh dari mata air. Di sana ada gubug yang bisa dipergunakaan untuk istirahat dan memasak. Saat ini, gubug-gubugnya memang sudah tak ada tapi mata airnya masih banyak. Andai tak puasa, ingin juga rasanya mencicipi langsung air sejuk dari pegunungan ini.
Di sepanjang jalan pegunungan ini, ada beberapa tempat yang longsor, bahkan longsorannya nyaris meruntuhkan jalan. Dibeberapa tempat, para pekerja sedang mengerjakan proyek tanggul untuk menahan erosi yang lebih besar.
Selepas pegunungan, hawa pantai molibagu yang panas menyapa membuat tenggorokan cepat kering rasanya. Karena sudah sepakat akan mampir ketika pulang, kamipun hanya melihat sekilas Molibagu, Ibu Kota Bolsel.
Pemandangan indah dengan pohon kelapa di pantai Bolsel
Perjalanan ke Pinolosian ternyata sama seperti perjalanan ke Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dimana antar kampung masih diselingi hutan dan kebun. Jalan pun belum sebaik di seputar Molibagu. Kami masih bertemu jalan berlumpur longsoran kecil dari gunung.
Bolsel, terutama dari Molibagu ke Pinolosian memang mempunyai dataran yang kecil sehingga yang cukup berbahaya di musim penghujan. Beberapa tahun lalu, banjir banding di daerah ini menimbulkan kerugian materi yang cukup besar, bahkan ada nyawa yang menghilang.
Daerah ini sungguh indah, terutama pantainya. Setidaknya ada dua wisata pantai yang kami temukan yaitu, juga lautnya sangat kaya dan masyarakat nampaknya memanfaatkan karena disepanjang pantai terdapat perahu nelayan. Pohon kelapa memenuhi sepanjang jalan, juga buah-buahan terutama durian.
Jalan yang rusak saat di tanjakan Panango
Luar biasa, daerah kinodungkulan ini ternyata mempunyai banyak potensi. Di sepanjang jalan saja potensinya sudah terlihat, apalagi diwilayah pedalaman. Menurut penuturan warga, daerah ini punya air terjun, pelabuhan alam yang indah, beragam komoditi pertanian yang sukses, emas yang masih tersimpan di perut bumi dan lain sebagainya. Sesungguhnya saya ingin mengunjungi semua tapi keluh orang puasa ternyata ada juga. Di Pinolosian pun kami hanya sampai di Lungkap.
Bagian dari wisata pantai Modisi', Bolsel
Setelah menikmati alamnya serta berbincang dengan masyarakat yang ternyata banyak yang masih punya hubungan darah dengan kami, kami pun pulang. Kami mampir dulu di Molibagu. Selain melihat-lihat ibu kota kabupaten baru ini, kami juga membeli ikan di pasar ikan Molibagu. Sayang ikan tak begitu banyak, harganya agak mahal, Dompetku hanya mampu membeli untuk sekali sahur.
Oh ya, ada hal lain yang nyaris luput kutuliskan. Selain beraneka potensi, saat kami ke sana, daerah bekas kerajaan Bolaang Uki ini sedang menghadapi Pilkada putaran kedua. Beberapa warga berharap ada THR dari para kandidat. Tapi saya berharap yang terpilih adalah mereka yang tepat. Daerah ini punya potensi besar yang akan memakmurkan rakyat jika pemimpinnya bijak. Karena itu, rakyatlah yang merugi jika hanya menggadaikannya untuk THR yang hanya sekali. (Laporan Anuar Syukur)
Pantai Wisata Modisi', perpaduan wisata dan pelestarian bakau

Masjid Bombanon, Masjid Kaum Mualaf yang Terlantar


Masjid Bombanon, Masjid Kaum Mualaf yang Terlantar

Masjid di Bumbungon-Dumoga, Bolaang Mongondow, Masjid para Mu'alaf

Beberapa warga Bombanon ke hutan di gunung untuk berburu babi, tikus, ular, burung dan lainnya. Namun bukannya buruan yang mereka dapatkan melainkan mereka tersesat. Mereka bingung mencari jalan pulang ke kampung dan mereka tak kunjung menemukan. Mereka hanya berputar-putar di sana. Mereka tak mendengar apa pun selain kesunyian hutan padahal tak jauh dari mereka banyak terdapat perkebunan. Karena kecapekan mereka terduduk. Beberapa jenak, mereka mendengarkan sesuatu yang mengalun dengan indahnya: adzan.
Mereka sudah sering mendengar adzan karena kampung Abak yang berada didekat mereka mayoritas Islam sehingga lima kali dalam sehari adzan berkumandang dari masjidnya. Mereka sering menggerutu karena azan itu. Namun kali ini lain. Mereka terhanyut.
Setelah adzan selesai, mereka seperti tersadar. Mereka pun mencari asal adzan itu. Di tengah ketersesatannya, mereka berharap akan bertemu dengan orang yang sholat. Namun tak ada yang mereka dapatkan. Namun jalan untuk pulang sekarang terbentang.
Kisah ini adalah kisah nyata yang menggegerkan diawal tahun 1990. Bombanon adalah desa di Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow, yang 100% penduduknya beragama Kristen Protestan. Mungkin mereka tak memusuhi Islam karena mereka sudah lama hidup berdampingan dengan Desa Abak yang 100% penduduknya muslim. Namun tetap saja mereka menganggap Islam agama yang aneh.
Kisah ini merupakan satu dari sekian banyak kisah pembuka pintu hidayah. Karena peristiwa ini 12 keluarga menyatakan diri masuk Islam dan dengan ikhlas serta penuh kesadaran melafalkan kalimat syahadat.
Tempat tinggal Imam Masjid Bumbungon
Pada tahun 1991, dengan penuh jiwa tauhid mereka menimbun rawa dan mendirikan masjid di sana. Perhatian dari saudaranya, kaum muslimin, yang lain cukup besar saat itu sehingga masjid cepat selesai. Mereka meminta imam yang akan membimbing mereka dan bersedia tinggal di rumah kecil di belakang masjid. Djafar Patejenuh bersedia tinggal di sana, sudah 15 tahun dia dan keluarganya berada di sana.
“Awalnya baik, masjid ini sering mendapat bantuan dari amal jariyah kaum muslimin lainnya. Namun seiring waktu, masjid ini seperti terlupakan,” kata Djafar.
Dari tempat dia tinggal, sangat terlihat bahwa Djafar memang agak kekurangan padahal dia sudah bersedia mengabdikan hidupnya di sana. Dia mengatakan, kebutuhan hidupnya hanya dipenuhi oleh jamaah yang sesungguhnya masih kekurangan karena kebanyakan berlatar petani. Bahkan kebanyakan jamaah pria saat ini berada di Palu untuk mengadu nasib dengan mencari emas di sana.
Tapi bukan kehidupannya yang lelaki Bugis Bone ini prihatinkan melainkan kondisi masjid.
Lahan Masjid Yang Tergerus Air, tinggal di tahan tembok
“Masjid ini dibangun diatas rawa yang ditimbun dan berada dipinggir kali. Saat ini air kali mulai menggerogoti tanah masjid, saya takut masjid akan terbawa air kalau tak segera ditanggulangi,” kata Djafar sambil menunjukan tanah masjid yang mulai longsor karena air, hanya tembok yang sudah nampak rapuh yang bisa menahan.
Begitu ke dalam masjid, kesuraman nampak. Masjid ini hanya punya satu al-Quran. Atap masjid sudah bocor.
“Jelas jamaah tak bisa menanggung biaya perbaikannya. Saya sendiri bingung hendak mengadu ke sana karena sudah lama tak ada penyalur zakat, infak, sadaqah atau bantuan lainnya yang berkunjung ke sini,” keluhnya.
Kami yang kebetulan mampir dari perjalanan ke Bolaang Mongondow Selatan, hanya bisa berjanji untuk menuliskan keluh kesah di masjidnya kaum mu’alaf ini. Setelah berdoa bersama semoga ada yang tersentuh hatinya, akupun pulang. (Anuar Syukur)
Tempat Pengimaman, nampak satu2nya al-Quran di masjid ini

Walikota Serukan Mencontoh Kepemimpinan Islam




Kepemimpinan Islam yang mewujud dalam sholat berjama’ah mendapat perhatian Walikota Kotamobagu, Drs Hi Djelantik Mokodompit saat berkunjung di masjid Darusallam Motoboi Kecil dalam rangka trawi keliling Pemkot Kota Kotamobagu.
“Saat sholat, ketika Imam salah maka kita punya mekanisme yang jelas yaitu makmum mengingatkan dengan mengatakan ‘Subhanallah’, tak bisa dengan mengatakan kata lainnya, apalagi membuat keributan,” kata politisi yang biasa dipanggil Papa Razki ini.
Uyo’, demikian beliau biasa disebut, juga mengatakan system pergantian Imam jika Imam berhalangan saat sedang memimpin jama’ah. Imam akan menunjukan tanda dengan tangannya agar ada makmum yang menggantikan posisinya.
“Sistem kepemimpinan dalam Islam saat sholat ini demikian teratur sehingga dapat kita contoh dalam kepemimpinan dalam masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Walikota pilihan rakyat pertama ini mengkritik upaya mengendap-ngendap kemudian menjatuhkan. “Na’ai bi’ umapa-apa’ bo momilot, itu tidak baik,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Walikota juga meminta agar masyarakat tidak mudah termakan isu. “Sebagai walikota pilihan rakyat, saya akan berusaha bekerja keras untuk memenuhi harapan rakyat. Jika ada yang belum terpenuhi, saya mohon maaf namun saya akan terus berusaha. Mohon doanya. Dan mari kita menjaga kebersamaan untuk mewujudkan Kotamobagu yang lebih baik ke depan,” ajaknya.
Seruan Walikota ini sangat tepat. Tak hanya karena disampaikan pada bulan yang mulia ini tapi juga penting untuk menggali nilai-nilai religi dan diaplikasikan dalam kehidupan keseharian masing-masing orang.
“Skarang ini orang-orang tak lagi mempedulikan nilai-nilai yang ada pada adat, budaya dan agama. Karena itu sangat bagus apa yang disampaikan Pak Walikota agar kita tak hanya menggali nilai-nilai tersebut tapi juga menerapkan dalam kehidupan kita masing-masing seperti Pak Wali yang telah bicara dalam konteks dirinya sendiri sebagai pemimpin sekaligus politisi,” kata generasi muda Motoboi Kecil, Komarudin Makalalag.
Dalam pantauan tabloid naton, harapan masyarakat agar para pemimpin dan politisi mencontoh pada nilai-nilai agama, adat dan tradisi sangat besar. Menurut mereka, nilai-nilai ini menjadi solusi saat krisis kepemipinan saat ini yang membuahkan disharmoni antar pemimpin maupun politisi.
“Apa yang disampaikan Pak Wali ditelaah oleh kita semua, terutama para pemimpin dan politisi sehingga perpecahan dan saling pertentangan antar mereka tidak terjadi seperti saat ini. Bagaimanapun perpecahan dan pertentangan antar pemimpin dan politisi akan tetap berdampak buruk pada kami sebagai rakyat,” Efendi Paputungan menambahkan.
Dalam trawih keliling ini, unsure Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah), Kepala Cabang BRI Kotamobagu, Kepala Cabang Bank Sulut, SKPD dan Ketua MUI Kotamobagu menyertai Walikota.
Setelah trawih, rombongan Walikota diundang khusus oleh tokoh masyarakat Motoboi Kecil, Hi Nus Daun yang biasa dipanggil Laki Ici. (Anuar Syukur)

Menelisik Pilgub Sulut 2010


POWER ETNIS MENURUN
Menelisik Pilgub Sulut 2010

Walau suku, agama, ras dan golongan (sara) diharamkan untuk didayagunakan dalam segi apa pun namun dalam percaturan politik kekuatan etnis sangat susah disepelekan oleh para politisi. Ini juga yang terjadi dipemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Utara. Image bahwa kandididat yang berasal dari etnis besar akan memenangkan pertarungan membuat para kandidat Gubernur berusaha mencari kandidat wakil dari etnis tersebut. Kondisi ini cukup menguntungkan bagi Bolaang Mongondow (bersatu). Sebagai etnis terbesar kedua setelah Minahasa, putra-putri terbaik Bolaang Mongondow menjadi rebutan. Hasilnya ada dua kandidat Gubernur yang berpasangan dengan putra-putri terbaik Bolaang Mongondow, yaitu Bupati Minahasa Drs Stevanus Vreke Runtu yang berpasangan dengan Bupati Bolaang Mongondow Ny. Hj. Marlina Moha Siahaan dan Bupati Minahasa Selatan Drs Ramoy Markus Luntungan yang berpasangan dengan mantan pejabat Bank Sulut Hamndi Paputungan SH MM.
Walau putra-putri terbaik Bolaang Mongondow telah menjadi calon Wakil Gubernur dengan pasangannya masing-masing namun persoalan saat pencarian pasangan ternyata berlanjut. Persoalan siapa yang meninggalkan siapa saat ini sedang mengemuka. Ada kandidat Gubernur yang tak jadi berpasangan dengan putra-putri Bolaang Mongondow yang menuding bahwa dia ditinggalkan bakal pasangannya, sementara bakal pasangannya yang saat ini telah memilih berpasangan dengan kandidat Gubernur lain juga balas mengatakan bahwa dia ditinggalkan sehingga dia memilih pasangannya sekarang.
Saya tak tahu siapa yang benar dalam persoalan ini, saya juga tak tahu apa motif dari persoalan ini mengemuka di mana-mana—bisa jadi motifnya sangat politis. Sebagai penonton saya hanya bisa menduga-duga tapi tak boleh menuliskan dugaan saya. Yang jelas, akan terlihat bahwa dengan mempersoalkan berarti kurang enjoy dengan pasangannya. Dalam dunia percintaan, hal seperti ini bisa memunculkan perselingkuhan.
Bagi politisi, factor etnis sangat diperhitungkan—mungkin semua factor diperhitungkan bagi mereka yang terlibat dalam dunia politik praktis. Tapia pa demikian juga dengan rakyat yang menjadi konstituen dalam moment politik?
Rakyat terpilah. Jika merujuk dari Pilgub 2005 di mana Hamdi Paputungan-Tinggogoy mendapat suara lebih dari 50% di Bolaang Mongondow, memang suara etnis mendapat tempat dihati rakyat. Tapi banyak factor yang mendukung sehingga hasilnya seperti itu. Saat ini, nampaknya banyak yang sudah berubah.
Saat ini suara etnis pecah karena banyaknya kandidat, dari Bolaang Mongondow sendiri adai Hamdi Paputungan dan Marlina Moha Siahaan. Saya tak tahu siapa dari keduanya yang akan mendapat tempat di hati rakyat yang memilih karena factor etnis, yang pasti suara akan terbagi walau kita tak tahu persentasenya berapa-berapa. Belum lagi tim sukses kandidat yang diambil dari putra-putri Bolaang Mongondow yang mempunyai kekuatan  Keberadaan tim sukses juga bisa menarik pemilih yang memilih berdasarkan etnis, setidaknya kandidat yang mempunyai tim yang kuat secara etnis bisa menambah bilangan pembagi.
Hal lain yang menurunkan power etnis adalah terterimanya factor-faktor politik universal oleh rakyat.
Uang merupakan satu dari sekian banyak factor universal yang paling berpengaruh, dia tak hanya alat membeli barang bergerak maupun tidak tapi juga dapat membeli suara. Dan rakyat yang kebanyakan belum begitu tahu posisinya dalam dunia demokrasi selalu menganggap bahwa perannya hanya sebatas memilih, setelah itu tak ada lagi sehingga mereka meminta bayaran dimuka.
“Pokoknya kita nimau’ ba pili kalu nyanda’ ada doi. Kalu nyanda’ ada yang ba bayar, lebe bae bakarja di ruma supaya ada dia pe guna. Kiapa ley kita ba bodok dengan ba kase dudu’ pa dorang yang pe klar itu pasti nimau‘ batengo pa kita,” kata seorang ibu saat makan di kantin.
Apakah rakyat sudah mata duitan? Mungkin juga. Yang jelas ini menandakan uang sudah jadi factor universal dalam politik yang mengalahkan factor etnis.
Faktor universal lain yang melewati batas etnis adalah kapabilitas kandidat. Bagi kandidat Gubernur-Wakil Gubernur yang pernah atau sedang memimpin suatu daerah, kapabilitas atau kemampuannya dapat dilihat dari prestasinya saat memimpin. Di sini akan menarik. Walau hanya SHS yang Gubernur namun semua kandidat pernah memimpin di wilayahnya masing-masing. Voni Aneke Panambunan (VAP) pernah Bupati di Minahasa Utara, Elly Lasut masih Bupati di Talaud, Ramoy Markus Luntungan (RML) masih Bupati di Minahasa Selatan, bahkan pasangan Stevanus Vreeke Runtu (SVR) dan Marlina Moha Siahaan masing-masing masih berstatus Bupati Minahasa dan Bupati Bolaang Mongondow. Di Pilgub tahun 2005, SHS menang yang salah satunya karena prestasinya ketika menjadi Penjabat Gubernur di Maluku dan Maluku Utara serta kenangan masyarakat saat dia menjadi Walikota Bitung.  Apakah prestasi SHS di periode pertama pemerintahannya akan membawanya ke periode ke dua?
Masih banyak lagi factor lain yang menurunkan power dari etnis. Lagi pula Pemilihan Gubernur tak begitu menarik bagi konstituen, hal ini sangat berbeda dengan Pemilihan Bupati atau Pemilihan Walikota yang diperbincangkan dan diperdebatkan sampai ke kebun-kebun. Angka Golput untuk pada Pemilihan Gubernur merupakan kedua terbesar setelah Pemilihan Presiden. Semua ini membuat bingung para analis dan peramal. Dan harus diakui memang banyak ramalan yang meleset. Keberadaan figure yang menguasai wilayah (para Bupati) ternyata tak dapat membendung figure incumbent SHS yang dikenal masyarakat karena karyanya selama memerintah di periode pertama (Anuar Syukur)

LOBONG, LUMBUNG NENAS BOLMONG



Panen Besar Jelang Lebaran

Lobong merupakan desa di jalan utama trans Sulawesi Amurang-Kotamobagu-Doloduo (AKD) yang menjadi penghubung dengan Manado.  Letaknya di ngarai yang diapit gunung, di kanan-kirinya terdapat deretan pegunungan. Di deretan pegunungan itu akan kita lihat barisan nenas yang menghijau.
Menurut Adam Potabuga, mayoritas warga Lobong, bahkan warga lain yang punya kebun di Lobong menanam nenas. “Paling sedikit petani nenas di sini menanam lima ratus pohon yang bisa beranak sampai dua-tiga ribu pohon. Dan paling kurang ada seribu petani nenas. Bisa Anda bayangkan berapa banyak yang akan dihasilkan setiap panennya,” katanya.
Masyarakat lebih memilih nenas karena dipandang lebih menguntungkan dari segi pemeliharaan.
“Memang agak repot ketika pertama kali tanam karena rumput banyak yang tumbuh, tapi setelah nenas sudah tumbuh sudah tidak terlalu repot lagi, apalagi sekarang sudah ada racun rumput sehingga cukup disemprot saja. Yang kami lakukan hanya menebang bakal pohon yang bisa kami lakukan bahkan sampai enam bulan sekali dan dengan tenaga sendiri,” kata Adam yang biasa dipanggil Laki Dali ini.
Nenas juga bisa dipanen bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena anakan nenas yang ditanam akan kembali berbuah. Secara ekonomis, keuntungan dari nenas didapat seiring dengan bertambahnya anakan.
Selain itu, waktu panen juga bisa diatur dengan mengatur pembuahan. Biasanya petani akan merangsang tanaman dengan zat perangsang dari pabrik maupun menggunakan karbit tiga bulan sebelum waktu yang ditetapkan untuk panen.
“Dulu sebelum ada obat-obatan dari pabrik, masyarakat di sini menggunakan karbit untuk merangsang pembuahan. Namun sekarang sudah jarang yang menggunakan karbit karena lebih mahal dan kadang-kadang hasilnya tidak sesuai dengan harapan,” ungkapnya.
Hasilnya, bisa terjadi panen raya pada waktu yang ditetapkan tersebut.
Biasanya, petani akan menentukan waktu panen menjelang hari besar keagamaan, seperti lebaran yang tak lama lagi akan dirayakan umat muslim.
“Menjelang lebaran atau hari raya agama lain, permintaan nenas melonjak bisa sampai sepuluh ribu buah perkali angkut. Harganya juga cukup bagus, bisa sampai lima ribu pergandeng yang berisi dua buah nenas,” kata lelaki satu cucu yang selain menjadi petani juga menjadi pedagang pengumpul nenas. Menurutnya, dari mendapat keuntungan sekitar seribu pergandeng (lima ratus rupiah perbuah) dari hasil penjualan itu dan sepanjang bulan ramadhan sampai dia bisa menjual minimal dua puluh lima ribu biji.
Luar biasa juga untungnya.
“Ya, cukuplah untuk ditabung dalam menghadapi hari-hari yang sulit serta untuk memenuhi keperluan rumah tangga dalam menyambut lebaran,” katanya merendah.
Wilayah pemasaran nenas Lobong, selain Menurutnya, pasar nenas Lobong, selain untuk local Bolaang Mongondow, juga biasa dibawa ke Manado, Gorontalo, bahkan Palu.
“Biasanya kalau lebaran, walau sudah diupayakan untuk panen serempak namun tetap tak bisa memenuhi permintaan pasar,” ujarnya.
Tokoh muda Lobong, Repol Mokodongan meminta perhatian pemerintah agar nenas tak seperti tanaman tahunan.
“Kalau kita hanya sekali panen besar yaitu menjelang lebaran, berarti nenas sama saja dengan tanaman tahunan padahal jelas berbeda. Namun kalau tak kami buat begitu, artinya kami melakukan panen setiap waktu, jelas kami akan rugi. Karena itu, kami berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat sehingga nenas bisa jadi salah satu komoditi andalan,” kata tamatan Sekolah Pertanian Menengan Atas (SPMA) Mongkonai ini.
Lebih lanjut, Repol mengemukakan, bisa saja dibangun pabrik pengolahan nenas di Lobong.
“Mungkin hasil panen nenas di Lobong belum mencukupi jika dibangun pabrik berskala besar. Tapi itu bukan alasan untuk meniadakan pabrik di sini. Menurut saya, justru ini merupakan peluang karena wilayah komoditi nenas bisa diperluas sampai hasilnya mencukupi untuk dikelolah pabrik,” tuturnya.
Melalui tabloid naton ini, Repol berharap agar tak hanya pemerintah yang memikirkan tapi juga orang Bolaang Mongondow yang berada di rantau.
“Jika pemerintah tak sanggup mendatangkan investor, mungkin orang Bolaang Mongondow yang ada dirantau bisa menjembatani atau bahkan menjadi investor itu sendiri. Tak perlu mereka datang ke sini karena kita juga sangat memerlukan orang Bolaang Mongondow di rantau, tapi kami berharap pemikiran dan modal mereka dapat ikut memajukan kampung halaman,” harapnya. (Anuar Syukur)

Jumat, 20 Agustus 2010

Pers di Instansi Non-Pers


Pers di Instansi Non-Pers
Oleh Henra Mokoagow*

Semua pihak seharusnya bersyukur bahwa sekarang ini Pers telah mendapat tempat di ruang public sebagai jembatan informasi dan komunikasi baik antara pemimpin dan yang di pimpin serta pemerintah dengan rakyat. maupun jembatan informasi dan komunikasi bagi instasi non pers dengan rakyat.
Pers mengemban tugas mulia untuk mengulas fak yang harus diketahui public, pers bertugas untuk menjalin informasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam satu bingkai media yang independent.
Pers pada hakikatnya bertugas untuk mengurai benang-benang kusut yang menjerat hamparan opini dan pernyataan public, mengubah diss-harmoni menjadi hamoni, serta mengkomunikasikan fakta diantara pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek bertia, agar tercipta satu disskursus dan kesepahaman dalam menyimak fakta dan warta. Dengan selalu mendudukkan objek maupun subjek berita dalam posisi equal, pers tak pernah menguraikan pendapat tanpa fakta, ataupun pernyataan tanpa sumber sebab untuk menjunjung tugas mulia dan amanah sumber maupun objek berita pers selalu mengutamakan fakta tanpa mengurangi ataupun melebih-lebihkan.
Dimasa sekarang saat era infermasi dan Komunikasi sudah terbuka luas dan tanpa batas, semua orang memahami bahwa salah satu haknya yang paling asasi adalah Hak untuk tahu (The protocol of Human Rights-Need To Know), pers adalah satu-satunya media yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk menyatakan keingin tahuan atas sesuatu fakta yang ada dengan cara yang sangat independent.
Baik bagi para pemimpin yang menyampaikan informasi serta berkomunikasi kepada rakyatnya atau sebaliknya, maupun bagi Pemerintah dengan rakyat untuk fungsi pelayanan berbagai kebutuhan rakyat, begitu juga sebaliknya. Demi tercipta harmonisasi sehingga tak ada jurang komunikasi antara pemimpin dan rakyat, pemerintah dengan rakyat ataupun dengan sesama rakyat yang ada.
Insan pers sangat bersyukur saat pers ditempatkan pada porsi dan posisi yang sangat independent serta tak disalahkan sebagai kambing hitam sebagai efek dalam suatu pemberitaan sebab pers selalu berada pada bingkai Kode Etik Profesi Jurnalistik sebagaimana yang ditetapkan dalam aturan dan perundang-undangan, toh kalaupun kode etik tersebut dilanggar maka sanksi Delik Pers yang akan dikenakan bagi pengelola dan personil-nyapun sudah tersedia.
***
* Hendra Mokoagow adalah mantan Pemred harian Media Totabuan, sekarang PNS