Minggu, 22 Agustus 2010

Menelisik Pilgub Sulut 2010


POWER ETNIS MENURUN
Menelisik Pilgub Sulut 2010

Walau suku, agama, ras dan golongan (sara) diharamkan untuk didayagunakan dalam segi apa pun namun dalam percaturan politik kekuatan etnis sangat susah disepelekan oleh para politisi. Ini juga yang terjadi dipemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Utara. Image bahwa kandididat yang berasal dari etnis besar akan memenangkan pertarungan membuat para kandidat Gubernur berusaha mencari kandidat wakil dari etnis tersebut. Kondisi ini cukup menguntungkan bagi Bolaang Mongondow (bersatu). Sebagai etnis terbesar kedua setelah Minahasa, putra-putri terbaik Bolaang Mongondow menjadi rebutan. Hasilnya ada dua kandidat Gubernur yang berpasangan dengan putra-putri terbaik Bolaang Mongondow, yaitu Bupati Minahasa Drs Stevanus Vreke Runtu yang berpasangan dengan Bupati Bolaang Mongondow Ny. Hj. Marlina Moha Siahaan dan Bupati Minahasa Selatan Drs Ramoy Markus Luntungan yang berpasangan dengan mantan pejabat Bank Sulut Hamndi Paputungan SH MM.
Walau putra-putri terbaik Bolaang Mongondow telah menjadi calon Wakil Gubernur dengan pasangannya masing-masing namun persoalan saat pencarian pasangan ternyata berlanjut. Persoalan siapa yang meninggalkan siapa saat ini sedang mengemuka. Ada kandidat Gubernur yang tak jadi berpasangan dengan putra-putri Bolaang Mongondow yang menuding bahwa dia ditinggalkan bakal pasangannya, sementara bakal pasangannya yang saat ini telah memilih berpasangan dengan kandidat Gubernur lain juga balas mengatakan bahwa dia ditinggalkan sehingga dia memilih pasangannya sekarang.
Saya tak tahu siapa yang benar dalam persoalan ini, saya juga tak tahu apa motif dari persoalan ini mengemuka di mana-mana—bisa jadi motifnya sangat politis. Sebagai penonton saya hanya bisa menduga-duga tapi tak boleh menuliskan dugaan saya. Yang jelas, akan terlihat bahwa dengan mempersoalkan berarti kurang enjoy dengan pasangannya. Dalam dunia percintaan, hal seperti ini bisa memunculkan perselingkuhan.
Bagi politisi, factor etnis sangat diperhitungkan—mungkin semua factor diperhitungkan bagi mereka yang terlibat dalam dunia politik praktis. Tapia pa demikian juga dengan rakyat yang menjadi konstituen dalam moment politik?
Rakyat terpilah. Jika merujuk dari Pilgub 2005 di mana Hamdi Paputungan-Tinggogoy mendapat suara lebih dari 50% di Bolaang Mongondow, memang suara etnis mendapat tempat dihati rakyat. Tapi banyak factor yang mendukung sehingga hasilnya seperti itu. Saat ini, nampaknya banyak yang sudah berubah.
Saat ini suara etnis pecah karena banyaknya kandidat, dari Bolaang Mongondow sendiri adai Hamdi Paputungan dan Marlina Moha Siahaan. Saya tak tahu siapa dari keduanya yang akan mendapat tempat di hati rakyat yang memilih karena factor etnis, yang pasti suara akan terbagi walau kita tak tahu persentasenya berapa-berapa. Belum lagi tim sukses kandidat yang diambil dari putra-putri Bolaang Mongondow yang mempunyai kekuatan  Keberadaan tim sukses juga bisa menarik pemilih yang memilih berdasarkan etnis, setidaknya kandidat yang mempunyai tim yang kuat secara etnis bisa menambah bilangan pembagi.
Hal lain yang menurunkan power etnis adalah terterimanya factor-faktor politik universal oleh rakyat.
Uang merupakan satu dari sekian banyak factor universal yang paling berpengaruh, dia tak hanya alat membeli barang bergerak maupun tidak tapi juga dapat membeli suara. Dan rakyat yang kebanyakan belum begitu tahu posisinya dalam dunia demokrasi selalu menganggap bahwa perannya hanya sebatas memilih, setelah itu tak ada lagi sehingga mereka meminta bayaran dimuka.
“Pokoknya kita nimau’ ba pili kalu nyanda’ ada doi. Kalu nyanda’ ada yang ba bayar, lebe bae bakarja di ruma supaya ada dia pe guna. Kiapa ley kita ba bodok dengan ba kase dudu’ pa dorang yang pe klar itu pasti nimau‘ batengo pa kita,” kata seorang ibu saat makan di kantin.
Apakah rakyat sudah mata duitan? Mungkin juga. Yang jelas ini menandakan uang sudah jadi factor universal dalam politik yang mengalahkan factor etnis.
Faktor universal lain yang melewati batas etnis adalah kapabilitas kandidat. Bagi kandidat Gubernur-Wakil Gubernur yang pernah atau sedang memimpin suatu daerah, kapabilitas atau kemampuannya dapat dilihat dari prestasinya saat memimpin. Di sini akan menarik. Walau hanya SHS yang Gubernur namun semua kandidat pernah memimpin di wilayahnya masing-masing. Voni Aneke Panambunan (VAP) pernah Bupati di Minahasa Utara, Elly Lasut masih Bupati di Talaud, Ramoy Markus Luntungan (RML) masih Bupati di Minahasa Selatan, bahkan pasangan Stevanus Vreeke Runtu (SVR) dan Marlina Moha Siahaan masing-masing masih berstatus Bupati Minahasa dan Bupati Bolaang Mongondow. Di Pilgub tahun 2005, SHS menang yang salah satunya karena prestasinya ketika menjadi Penjabat Gubernur di Maluku dan Maluku Utara serta kenangan masyarakat saat dia menjadi Walikota Bitung.  Apakah prestasi SHS di periode pertama pemerintahannya akan membawanya ke periode ke dua?
Masih banyak lagi factor lain yang menurunkan power dari etnis. Lagi pula Pemilihan Gubernur tak begitu menarik bagi konstituen, hal ini sangat berbeda dengan Pemilihan Bupati atau Pemilihan Walikota yang diperbincangkan dan diperdebatkan sampai ke kebun-kebun. Angka Golput untuk pada Pemilihan Gubernur merupakan kedua terbesar setelah Pemilihan Presiden. Semua ini membuat bingung para analis dan peramal. Dan harus diakui memang banyak ramalan yang meleset. Keberadaan figure yang menguasai wilayah (para Bupati) ternyata tak dapat membendung figure incumbent SHS yang dikenal masyarakat karena karyanya selama memerintah di periode pertama (Anuar Syukur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar